Sebenarnya, ada tidak fairnya juga berkembangnya alam berpikir umum bahwa konotasi idiomatik militer mengarah pada watak keresmian, kekakuan, bahkan sering lebih terpeleset pada kesan kekejaman, kebrutalan dan citra “inhuman”. Sementara idiomatik sipil dianggap mewakili keluwesan, kesantunan, senyum dan kearifan. Kalo ada orang sipil yang berkarakter kaku, kejam dan otoriter disebut militeristik. Kalo ada orang militer yang luwes, sopan, beradab, demokratis disebut militer yang sipil.
Kecurangan bahasa semacam ini mungkin memang ada sebab musabab sejarahnya. Sebagaimana penggunaan kata jantan dan betina juga mengandung kecurangan semacam itu. Kejantanan mewakili kehebatan, kejujuran, keberanian dan keterbukaan. Kebetinaan mewakili kecurangan, kelicikan dan ketertutupan. Laki-laki disebut betina kalau licik, wanita disebut jantan kalau berani dan jujur. Dalam psikologi bahasa semacam itu diskriminasi harkat kaum wanita menjadi keterlanjuran sejarah yang sangat sukar disembuhkan.
Pada tulisan inipun saya ternyata belum bisa membebaskan diri dari kenyataan bahasa yang menjadi milik baku paham nalar semua orang. Untuk masalah sipil militer saya terpaksa memakai bahasa sederhana semacam ini : “Tidak kurang lho orang sipil yang watak dan sifatnya militeristik. Banyak juragan-juragan, lurah, bahkan ulama yang bersikap seolah-olah dia adalah panglima perang kepada karyawan-karyawannya, rakyatnya, santrinya, yang semua dianggap prajurit sehingga harus patuh mutlak, dan diberlakukan sebagai manusia pekerja yang memiliki hak-hak dan batas kewajiban. Sementara jangan lupa banyak juga jendral, kolonel, kopral atau prajurit yang wataknya sangat sipil, santun, halus dan sangat manusiawi….” Sipil dan militer tidak bisa kita bandingkan sebagaimana membandingkan air dan batu atau antara baik dan buruk.
Ketika tahun 1998 sebagai seorang mahasiswa idealis saya ikut demonstrasi besar-besaran di Jakarta, melihat seorang tentara berpangkat rendah yang ditugasi berdiri di bawah terik matahari ketika berlangsung demonstrasi mahasiswa, tidak saya lihat lagi sebagai militer, tapi saya rasakan penderitaannya sampai selapar dan sekepanasan kayak apapun ia tidak berani beranjak dari tempatnya sebelum diperintahkan oleh komandannya.
Saya melihat ia sebagai manusia yang lemah dan sengsara, yang karena keterbatasan SDM-nya maka ia harus diejek-ejek oleh mahasiswa : “Heee, tentara tidak tamat SMA….!” Bahkan saya pernah ngobrol, dimana dia sesungguhnya ingin bersedia menjadi sarjana, direktur perusahaan atau KASAD, tetapi karena orangtuanya miskin ia tidak bisa sekolah tinggi, dan nasibnya terpuruk menjadi hanya seorang tentara kecil. Saya melihatnya sebagai semacam proletar sejarah yang dihina oleh penghuni kelas-kelas atas elite yang congkak kepada orang kecil.
Saya melihat ia sebagai manusia yang lemah dan sengsara, yang karena keterbatasan SDM-nya maka ia harus diejek-ejek oleh mahasiswa : “Heee, tentara tidak tamat SMA….!” Bahkan saya pernah ngobrol, dimana dia sesungguhnya ingin bersedia menjadi sarjana, direktur perusahaan atau KASAD, tetapi karena orangtuanya miskin ia tidak bisa sekolah tinggi, dan nasibnya terpuruk menjadi hanya seorang tentara kecil. Saya melihatnya sebagai semacam proletar sejarah yang dihina oleh penghuni kelas-kelas atas elite yang congkak kepada orang kecil.
Akhirnya, apakah kita akan menciptakan adegan sejarah masa depan dimana kuda-kuda liar fasis kejam dilawan dengan kuda yang sama liarnya. Ataukah dilawan oleh manusia. Dimana kuda itu ditunggangi oleh manusia, sampai akhirnya tak lagi menjadi kuda karena sama-sama kembali menjadi manusia.
0 komentar: