Hal-hal mengenai keharusan akurasi informasi, sehatnya komunikasi, kacaunya “tembung jare” (katanya) mengingatkan bahwa kehidupan manusia selalu terdiri atas kelompok-kelompok, aliran-aliran, petak-petak juga tembok-tembok yang membatasi kebenaran di antara mereka. Manusia dianjurkan untuk berendah hati satu sama lain. Tidak gampang “ngarani”, tidak gampang menuduh orang lain. Standar pertimbangannya adalah : Wong jumlah rambut kita sendiri saja kita tidak sanggup menghitung. Atau istilah Jawanya : Wong githok (punggung) kita sendiri saja kita ndak bisa lihat….. mosok gampang ngarani (menuduh) orang begini dan begitu.
Artikel yang akan saya tulis ini bukan sebuah berita yang informatif, sifatnya hanya hiburan, hiburan bagi teman-teman kompasioner yang lain yang mungkin mengalami kejenuhan seperti saya sekarang ini. Cerita ini saya dapat ketika tadi siang jalan-jalan ke toko buku Gramedia, saya membaca sebuah anekdot menarik yang menurut saya sangat lucu. Kira-kira begini ceritanya, pada jaman dulu (jangan ditanya kapan) hidup seorang pemuda bernama Sarju. Sarju sangat rajin sekali mengikuti pengajian, setiap kali dia bertemu dengan teman atau orang lain dia sangat menyombongkan dirinya kalau dia sangat mengerti agama.
Selain rajin mengikuti pengajian, Sarju juga rajin merawat kebun mangga yang ada di belakang rumahnya. Kebetulan kebun mangga Sarju sedang berbuah lebat sekali. Sayangnya banyak tangan usil yang ngambil mangga tanpa izin alias nyolong. Sarju kemudian menjaga kebun mangga itu siang malam, selama dijaga tidak ada yang ngambil. Tapi begitu ditinggal, banyak sekali mangga yang hilang.
Suatu hari Sarju menangkap basah seorang anak kecil yang mencuri mangga, lalu Sarju berteriak : “Hei….! Dasar maling kecil. Ayo turun dari pohon mangga saya.”
Si anak tadi belum juga turun. Sarju makin berang. “Awas kamu ya, nanti saya bilangin bapak kamu baru tahu rasa….!!”
Tetapi si anak bukannya segera turun malah dia mendongak ke atas pohon sambil berkata, “Pak, cepetan turun, kita sudah ketahuan.”
Sarju sudah tidak tahan lagi ini sudah keterlaluan, kemudian dia putar otak, teringat akan ucapan seorang ustad bahwa Tuhan Maha Mengetahui, ia lantas menaruh kertas di pohon mangga. Kertas itu bertuliskan : TUHAN TAHU SIAPA YANG MALING MANGGA. Dengan begitu dia yakin tidak ada yang berani mengambil mangganya.
Keesokan harinya, tetap saja masih ada mangga yang hilang. Ketika memeriksa pohon mangga, tulisan itu sudah bertambah : TUHAN TAHU SIAPA YANG MALING MANGGA TAPI DIA TIDAK BILANG SIAPA-SIAPA.
0 komentar: