Mungkin anda bisa merenungkan sejenak kejadian kerusuhan-kerusahan yang terjadi belakangan ini. Mulai dari tragedi Cikuesik,kemudian Temanggung dan yang lagi “trend” dibicarakan orang saat ini adalah kerusuhan yang terjadi di Pasuruan Jawa Timur. Saya tidak akan membicarakan melalui perspektif politik, karena pengetahuan politik saya yang dangkal tidak bisa menangkap sinyal-sinyal politik yang ada di balik peristiwa itu. Atau mungkin kejadian-kejadian itu tidak ada hubungannya dengan politik? Saya tidak begitu peduli, saya akan bahas rentetan peristiwa itu dari sisi kemanusiaan dan ketuhanan.
Ini benar-benar ujian bukan hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi komunitas manusia di negeri ini. Entahlah, mungkin ujian, mungkin peringatan, atau mungkin pula hukuman. Kalau ujian, berarti yang diuji dijanjikan oleh Tuhan untuk naik derajat. Kalau peringatan, yang diingatkan hendaknya berintropeksi. Kalau hukuman, hendaknya yang dihukum menyadari kesalahannya dan bersahabat menjalani hukuman itu dengan tuntas.
Tapi bangsa Indonesia, juga pemerintahnya, sudah jelas tidak cukup merenungkan semua kerusuhan dan musibah selama ini, baik sebagai ujian, peringatan atau hukuman. Kita semua secara keseluruhan bersikap acuh tak acuh saja, tenang-tenang saja, atau sekurang-kurangnya tidak menunjukkan kadar keinsyafan yang mencukupi, apalagi takaran perilaku perbaikan yang memadai.
Dulu Khidir membocorkan kapal, mencekik anak kecil di tengah jalan, menegakkan pagar yang miring, dan itu semua membuat Nabi Musa kelabakan mempersepsikannya, karena belum ada metodologi keilmuan yang mampu dipakai untuk itu. Dan ternyata sampai hari inipun, sampai saat tatkala ilmupengetahuan manusia sudah amat canggih, tidak ada wacana untuk memahami kelakuan Khidir.
Sesudah berbagai kerusuhan, sesudah Cikuesik, sesudah Temanggung, sesudah Pasuruan, dan sesudah besok atau lusa akan ada lagi wilayah yang kita hancurkan sendiri, belum muncul pernyataan introspektif dari pemerintah, juga belum ada gerakan yang benar-benar menginsyafi kandungan maknanya. Mustahil jika Tuhan tidak “terlibat”.
0 komentar: