Kematian tidak berarti akhir dari kehidupan ini. Ia menandai awal sebuah era baru. Ia semata-mata adalah pembatas antara dua masa dalam kehidupan kita. Renungkan petani yang menanamkan modalnya dalam sebuah ladang, yang dengan tekun mengolahnya hingga ia sampai pada masa panen, kemudian memanennya dan menyimpannya untuk kebutuhan-kebutuhan tahunannya. Panen adalah akhir dari sebuah fase dalam pengembangan ladang. Sebelumnya, adalah masa bagi para petani untuk membanting tulang dan berkorban. Setelah masa itu, ia menikmati hasil usahanya.
Demikian juga halnya dengan kehidupan kita di dunia ini. Disini kita menanam dan mengolah ladang akhirat kita. Masing-masing kita memiliki sebuah ladang yang bisa jadi diolah atau dibiarkan tandus. Kita menggunakan bibit-bibit yang akan memberikan kita hasil yang banyak atau hasil yang sedikit. Setelah menanami ladang kita, kita bisa saja mengurusnya dengan tepat atau mengabaikannya. Kita bisa juga menumbuhkan duri-duri atau menumbuhkan buah-buahan.
Kita bisa saja menumbuhkan rumput liar atau menumbuhkan bunga-bunga. Apapun yang kita lakukan, masa persiapan kita terhadap ladang ini akan berakhir hingga kita mati. Hari kematian kita merupakan masa panen. Itulah hari dimana kita akan menuai apa yang telah kita tanam. Ketika kita tidak lagi melihat dunia ini, kita akan melihat kehidupan selanjutnya dan di hadapan kita, akan dijumpai ladang yang telah kita olah dengan keras (atau kita abaikan) di sepanjang kehidupan kita.
Layak untuk diingat bahwa siapa saja yang menanam, maka ia akan menuai, dan ia hanya akan memanen ladang yang telah ia tanami. Demikian juga di akhirat, setiap orang akan memanen hasil panen yang telah ia siapkan bagi dirinya sendiri ketika ia masih hidup di dunia. Setiap petani mengetahui dengan baik bahwa apa yang akan ia panen adalah sebanyak apa yang telah ia tanam, dan ladang yang ia panen tidak lain adalah ladang yang telah ia tanami.
Di akhirat, pahala atau siksa yang akan diterima oleh seseorang sebanding dengan tindakan-tindakan baik atau jeleknya, niat-niat baik atau jeleknya, dan kesanggupan untuk melakukan kebaikan dan menghindari kejelekan. Kematian menjadi akhir dari masa usaha-usahanya, dan mengantarkannya untuk memasuki titik akhir dimana ia akan mengalami akibat-akibat mereka. Betapa sebuah persoalan yang sangat genting sekali! Seandainya saja manusia benar-benar memahami hal ini sebelum ia mati! Setelahnya, kesadarannya akan hal ini tidaklah ada gunanya sama sekali. Manyadari kebenaran itu setelah kematian merupakan suatu hal yang sudah terlambat, sebab disana tidak ada masa untuk memperhitungkan besarnya kesalahan seseorang, tidak ada waktu untuk bertobat, tidak ada waktu untuk menebus kesalahan.
Manusia tidak dapat mengetahui nasibnya. Ia hampir tidak menyadari bahwa waktu sedang mengantarkannya dengan sebuah langkah yang berbahaya menuju masa panen ladangnya. Ketika ia memandang dirinya telah melakukan perbuatan yang bermanfaat, mungkin saja semua apa yang sedang ia loakukan adalah untuk mengejar keuntungan-keuntungan duniawi yang tak berharga, mungkin saja ia sedang menyia-nyiakan waktu berharganya. Di hadapannya, ia memiliki sebuah kesempatan emas untuk memastikan sebuah masa depan yang mulia bagi dirinya sendiri, namun sering kali ia memilih untuk menghabiskan waktu dalam kesia-siaan.
Tuhannya mengajaknya untuk menuju surga, tempat keagungan dan kebahagiaan yang abadi. Sementara ia, karena kebodohannya, lebih senang mengejar kesenangan-kesenangan semu dan sementara. Ia menganggap bahwa ia semakin bahagia dan kaya tetapi pada kenyatannya, ia sedang menyia-nyiakan apa saja yang baik bagi kehidupannya. Ia membangun istana duniawinya, seraya dengan gembira membayangkan bahwa ia sedang membangun untuk kehidupannya, tetapi pada kenyataannya, ia sedang mendirikan tembok-tembok pasir yang akan ambruk begitu saja.
Demikian juga halnya dengan kehidupan kita di dunia ini. Disini kita menanam dan mengolah ladang akhirat kita. Masing-masing kita memiliki sebuah ladang yang bisa jadi diolah atau dibiarkan tandus. Kita menggunakan bibit-bibit yang akan memberikan kita hasil yang banyak atau hasil yang sedikit. Setelah menanami ladang kita, kita bisa saja mengurusnya dengan tepat atau mengabaikannya. Kita bisa juga menumbuhkan duri-duri atau menumbuhkan buah-buahan.
Kita bisa saja menumbuhkan rumput liar atau menumbuhkan bunga-bunga. Apapun yang kita lakukan, masa persiapan kita terhadap ladang ini akan berakhir hingga kita mati. Hari kematian kita merupakan masa panen. Itulah hari dimana kita akan menuai apa yang telah kita tanam. Ketika kita tidak lagi melihat dunia ini, kita akan melihat kehidupan selanjutnya dan di hadapan kita, akan dijumpai ladang yang telah kita olah dengan keras (atau kita abaikan) di sepanjang kehidupan kita.
Layak untuk diingat bahwa siapa saja yang menanam, maka ia akan menuai, dan ia hanya akan memanen ladang yang telah ia tanami. Demikian juga di akhirat, setiap orang akan memanen hasil panen yang telah ia siapkan bagi dirinya sendiri ketika ia masih hidup di dunia. Setiap petani mengetahui dengan baik bahwa apa yang akan ia panen adalah sebanyak apa yang telah ia tanam, dan ladang yang ia panen tidak lain adalah ladang yang telah ia tanami.
Di akhirat, pahala atau siksa yang akan diterima oleh seseorang sebanding dengan tindakan-tindakan baik atau jeleknya, niat-niat baik atau jeleknya, dan kesanggupan untuk melakukan kebaikan dan menghindari kejelekan. Kematian menjadi akhir dari masa usaha-usahanya, dan mengantarkannya untuk memasuki titik akhir dimana ia akan mengalami akibat-akibat mereka. Betapa sebuah persoalan yang sangat genting sekali! Seandainya saja manusia benar-benar memahami hal ini sebelum ia mati! Setelahnya, kesadarannya akan hal ini tidaklah ada gunanya sama sekali. Manyadari kebenaran itu setelah kematian merupakan suatu hal yang sudah terlambat, sebab disana tidak ada masa untuk memperhitungkan besarnya kesalahan seseorang, tidak ada waktu untuk bertobat, tidak ada waktu untuk menebus kesalahan.
Manusia tidak dapat mengetahui nasibnya. Ia hampir tidak menyadari bahwa waktu sedang mengantarkannya dengan sebuah langkah yang berbahaya menuju masa panen ladangnya. Ketika ia memandang dirinya telah melakukan perbuatan yang bermanfaat, mungkin saja semua apa yang sedang ia loakukan adalah untuk mengejar keuntungan-keuntungan duniawi yang tak berharga, mungkin saja ia sedang menyia-nyiakan waktu berharganya. Di hadapannya, ia memiliki sebuah kesempatan emas untuk memastikan sebuah masa depan yang mulia bagi dirinya sendiri, namun sering kali ia memilih untuk menghabiskan waktu dalam kesia-siaan.
Tuhannya mengajaknya untuk menuju surga, tempat keagungan dan kebahagiaan yang abadi. Sementara ia, karena kebodohannya, lebih senang mengejar kesenangan-kesenangan semu dan sementara. Ia menganggap bahwa ia semakin bahagia dan kaya tetapi pada kenyatannya, ia sedang menyia-nyiakan apa saja yang baik bagi kehidupannya. Ia membangun istana duniawinya, seraya dengan gembira membayangkan bahwa ia sedang membangun untuk kehidupannya, tetapi pada kenyataannya, ia sedang mendirikan tembok-tembok pasir yang akan ambruk begitu saja.
0 komentar: